Bukan Kristen atau Yahudi atau Muslim, bukan Hindu, Budha, sufi, atau zen. Bukan agama atau sistem budaya apa pun. Bukan dari Timur atau Barat, bukan keluar dari samudera atau timbul dari darat, bukan alami atau akhirat, bukan dari unsur-unsur sama sekali. Aku bukan wujud, bukan entitas di dunia ini atau akhirat, bukan dari Adam atau Hawa atau cerita asal-usul mana pun. Tempatku adalah Tanpa-Tempat, jejak dari yang Tanpa-Jejak. Bukan raga maupun jiwa.

Minggu, Februari 10, 2008

PELAJARAN DEMOKRASI [2]

2008 merupakan tahun yang cukup berat bagi para punggawa berbagai perkumpulan dan perserikatan di tanah air tercinta, kesemuanya itu tetap menjadi pelakon-pelakon sandiwara pembangkit harapan seperti yang sudah-sudah, dan itu juga memang sudah menjadi kebiasaan aktor-aktor sebagaimana telah dilakukan para pendahulunya sebelum diadakannya suatu pertunjukan akbar dengan title pesta rakyat untuk rakyat. Rata-rata sebagian besar dan hampir dikatakan seluruhnya dari mereka itu memerankan berbagai macam peran, ada yang memerankan sebagai lakon antagonis, protagonis, baik ia sebagai tokoh utama ataupun figuran yang notabene hanya dijadikan pelengkap sebuah drama percintaan antara pengidola dengan sosok yang bakal diidolakan.

Memang tidak semua penghuni wilayah bangsa yang penuh ramah tamah ini ikut antusias menyambut datangnya hari besar itu, bukan karena mereka tidak tahu akan datangnya suatu acara yang menjadi titik tolak awalan kalender baru bagi sistem penataan harapan-harapan mereka. Hanya saja mereka tetap larut dalam rutinitas keseharian dengan mencangkul di tanah-tanah kering, merumput di semak-semak belukar, bahkan tidak sedikit dari mereka masih sibuk melemparkan kailnya ke arah drainase yang indah baginya.

Bagi kita bangsa yang majemuk, mulai dari kaum-kaum yang berdasi hingga kaum-kaum yang hanya menutup alat kelaminnya menggunakan sebatang kayu sebagai penutup alat kebanggaannya itu, terkadang lebih senang untuk menunggu datangnya hujan atau kemarau saja. Bahkan di sisi lain kita lebih senang menunggu datangnya idul fitri, natal, tahun baru galungan, shincia bahkan ada yang dengan bangga menyempatkan waktu untuk menunggui istri teman melahirkan.

Sampai-sampai tidak sekalipun terbersit di alam bawah sadar para pemegang amanat penjaga bumi ini untuk mengerti peristiwa besar apa yang akan terjadi nantinya. Yang mana di bagian bumi lain banyak sudah bergentayangan mahluk-mahluk tuhan penuh visi dan misi menawarkan diri untuk menjadi tokoh utama sandiwara yang akan dipertunjukan pada hari itu.

Gambaran-gambaran itu bagaikan mimpi buruk teruntuk setiap manusia yang berada dalam barisan pasukan tentara tanpa senjata. Tapi mereka tetap dengan berani mengibarkan bendera perdamaian bercorak indah dan warna-warni di depan pekarangan istananya supaya menarik perhatian para penikmat kehidupan keras tersebut. Hanya saja tidak semua dari penonton menyukai gulali, banyak dari mereka sudah tidak peduli lagi dengan rasa manis, asam, pahit apalagi getirnya rasa gula-gula yang ditawarkan itu.

Bagi sang sutradara itu bukan hal yang sulit diatasi karena ia tidak pernah kehabisan akal. Karena pengalamannya yang sudah setinggi gunung, melalui muslihat ia akan selalu bersemangat untuk membuat inovasi dan terobosan baru agar para penonton nantinya mau berduyun-duyun menyaksikan, bahkan ikut ambil bagian didalam pertunjukan yang akan digelarnya itu, dan harapan akhir sang sutradara itu bagaimana membuat pirsawannya berdecak kagum terus hingga membuat buah bibir yang indah.

Pelajaran dua sisi mata pisau inilah yang hingga kini tidak pernah terselesaikan, dan ini merupakan pekerjaan rumah untuk pahlawan tanpa tanda jasa layaknya umar bakre melalui tas kulit buayanya itu. Karena hanya mereka saja lah yang mampu menjelaskan apa arti tajam dan apa arti tumpul. Bukan para aktor-aktor pemakai topeng dengan sikap religinya itu, sebab mereka lah yang tajam itu atau malah mereka lah yang tumpul itu. Kalaupun sosok umar bakre juga bingung untuk mengajarkan putih ia bisa mengajarkan yang hitam, kalaupun itu juga tetap masih tidak bisa ia ajarkan. Biarkan lah tuyul-tuyul ini belajar dari gadis kerudung merah dengan ajaran teatrikal penuh api, bila perlu biarkanlah mereka kursus bersama peri cantik dengan ajaran ahimsa-nya.

Semoga saja demokrasi tetap menjadi pedoman agung dimata kita semua, dan semoga saja azab menyertai mereka yang telah membutakan mata demokrasi dengan bulu meraknya.

Tidak ada komentar: