Bukan Kristen atau Yahudi atau Muslim, bukan Hindu, Budha, sufi, atau zen. Bukan agama atau sistem budaya apa pun. Bukan dari Timur atau Barat, bukan keluar dari samudera atau timbul dari darat, bukan alami atau akhirat, bukan dari unsur-unsur sama sekali. Aku bukan wujud, bukan entitas di dunia ini atau akhirat, bukan dari Adam atau Hawa atau cerita asal-usul mana pun. Tempatku adalah Tanpa-Tempat, jejak dari yang Tanpa-Jejak. Bukan raga maupun jiwa.

Sabtu, Januari 23, 2010

TAK TUNTAS




Dimulai lagi dari dini hari. Ketika jutaan mata telah terlena akan dunia lelap. Kali ini gagak hitam berparuh tajam dengan ikhlasnya mencaci kegelapan. Hinaan demi hinaan terlontar deras tepat di kepala bulan. Sabit mungkin kala itu. Masih tak bisa dimengerti maksud cacimakinya akan alam. Apakah karna alam t’lah menyatu di tiap helai bulu-bulu halusnya? Atau malah helai-helai bulu kelam membaur dengan alam?

Sepertinya perenungan tak ‘kan kunjung usai. Mencaci pun tak jua tuntas. Jikalau sentuhan penuh gairah segera terlepas tegas dari cengkraman.

Ini. Bukan perkara ranting yang beranjak dewasa menjelang mati. Tuturnya hanya alam tak pernah bersahabat menuruti rasa-akal-pikirnya saja. Hilanglah sudah kata-kata mulia pemuja eros. Berganti kini tabi’at shiva berpegang tongkat trisula terlilit cobra ganas. Dan. Nanar matanya. Menyala!

Bulan terperanjat menatap. Sigap jilatan lidah api gampang memerah gumpalan berliuk penuh akal. Pikirnya t’lah berkarat. Telinganya t’lah terkatup. Mulutnya t’lah terbungkam. “Mata? Ah… mata tak usah lah bicarakan mata,“ hinanya lagi.

Ya, terasa sangat jelas kepulan asap panas yang mengandung seratus dewa penggoda itu. Membenamkan segala legenda tanpa mukadimah. Manis-pahit tak berarti sudah tanpa penetrasi. Karna dirasanya alam sudah tak intim lagi.

Tapi. Tilik sebentar bagian terkecil yang hampir terlewat: Ujung paruh yang kian membengkok bukan tanpa musabab; Kelelahan mematuk tak bisa menyengat; Kedinginan tanpa selimut helai bulu lembut; Pintu jeruji penjara semakin berkarat, bahkan hampir patah.

Tak sedikitpun ia mentolerir. Kaki tuanya yang lelah. Sayap kecilnya yang linu. Helai bulunya yang rontok. Kuku-kuku cakarnya yang terlepas. Kulit kepalanya terkelupas. Kembali dirasanya sahabat alam t’lah berpaling.

Heiy…. Lihat Kunang-kunang menghampirinya. Itu luar biasa?

Selepas obrolan kunang-kunang pun meredup kecewa. Sekerlip saja ia hilang menyatu bersama kelam. Aneh. Tak kerling sesudahnya. Ada apa? Begitu besarkah pengaruh gagak hitam itu.

Namun secara bersamaan. Alam masih tenang dengan kekelaman. Bulan tetap anggun melengkung. Tak sedikitpun terbersit rasa iri akan indah benderangnya mentari. Tapi Sang Gagak Hitam?

----

TEGAS MIMPI

Karpet merah t’lah terbentang

Langit menjelma kelambu kelam

Kerling kunang-kunang sekejap pergi

Rumput hijau malu tertunduk

Lalu!

Melesat!

Cepat!

Si kerdil bergerak sigap

Melangkah gagah tanpa pikir

Babat keras hamparan batas

Satu!

Hanya Satu harap menggunung

Mahligai emas mimpi di seberang selat.

(Palembang, 23 Januari 2010)