Bukan Kristen atau Yahudi atau Muslim, bukan Hindu, Budha, sufi, atau zen. Bukan agama atau sistem budaya apa pun. Bukan dari Timur atau Barat, bukan keluar dari samudera atau timbul dari darat, bukan alami atau akhirat, bukan dari unsur-unsur sama sekali. Aku bukan wujud, bukan entitas di dunia ini atau akhirat, bukan dari Adam atau Hawa atau cerita asal-usul mana pun. Tempatku adalah Tanpa-Tempat, jejak dari yang Tanpa-Jejak. Bukan raga maupun jiwa.

Sabtu, Oktober 24, 2009

BANGKIT

BANGKIT


turun ke bumi anak ku sayang
langit telah berubah menjadi abu
kunang-kunang malam yang terang
tak bertandang di bulan ini
hanya kelelawar senja berpadu
memadu kasih tanpa sayap megahnya

Ingat nak!
kita terbaik ciptaanNYa
bunda merasa sama denganmu
butuh sayang kasih dan cinta
tapi bumi telah lama terinjak-injak
beri kesempatan ia bernafas lega
bungkam mulut busuk penuh cacimu
mari berarung lagi bersama ku

nak!
kali ini mentari menari-nari
lalu kau?
apa terus bersipu seperti itu?
gerakkan sekarang
kenakan sepatu lama mu
baju jirah sudah lama tergantung
dan nyaris berkarat pula
teriakan...
zulfikar terlalu bosan berada disarungnya
mainkan ia tanpa waktu maupun ruang

berangkat sekarang nak
sang pemilik nyawa maha agung
tlah hadiahkan kotak tua kepunyaanmu lagi

(palembang, 24 oktober 2009)

Rabu, Agustus 12, 2009

PINTAKU KEPADA SUNYI



Pintaku Kepada Sunyi


Sunyi telah kembali
Dipayungi pelangi kelam
Beriring sisa-sisa deras hujan kemarin

Lepaslah sudah kata penuh ambigu
: beri aku kecewa!
Raga ini tak cukup menampung ruh
Bahkan jantung pun enggan menari dug dug dug

Congkel mata ini buat aku buta
Sumpal telinga ini biarkan aku tuli
Rasa yang telah lama membengkak
Kau tusuk hingga kempis

Kau biarkan harimau menciumku
Berkacak pinggang
Kau tertawa memandangku
Bungker ini tlah kau rasuki

Sedikit ku paksa senyum menukik
Seolah semua tak apa
Dan kini
Aku terbelit akar hutan yang aku jaga

Sedikit pintaku kepada sunyi
: Jangan pula kau buat aku kecewa

(palembang, 12 agustus 2009)



Rabu, Juli 08, 2009

KELUH



KELUH

'tuk kesekian kali aku berkata:
tak ada puji yang hakiki
tak ada pula caci yang kekal
semua pergi dan berlalu
sesuai cuaca hari minggu

kau resah aku menyerah
berpaling pun tak apa
jikalau terbaik bagi dunia
duniamu duniaku dunia semesta
dunia dari segala dunia

bagaimana bisa benar
ketika burung sudah tak berparuh
pun pabila gajah melipat telinga?

rasaku rasamu
rasa dari segala rasa
akan tetap sama
membaur menjadi satu
satu dalam cinta

(palembang, 08 Juli 2009)

Sabtu, Mei 16, 2009

AKU CATAT LEGENDA INI


AKU CATAT LEGENDA INI


aku catat legenda ini

saat malam tampak mendung

layak cipratan air yang suci,

lalu bulan datang merunduk

menangis serta meracau

heiy, kau pandir

aku nanti kau!


aku catat legenda ini

saat bintang terlelap

ditemani hitam putih

yang masuk antrian

seperti segerombol anak ayam

terus menebar kelucuan

karna halus bulu tipisnya,

heiy, kau pandir

kau minta bagianmu!


puncak mendung yang suram

memulakan rintiknya ke tanah

puncak nanti yang kuat

bak besi baja kemilauan

menusuk hulu dengan tepat

yang tak akan terleyotkan


iblis, setan

malaikat, dewa

bahkan tuhan

pun ikut terjun temani kesuraman

mukanya kecut temui kita

wahai, pandir

rebahkan pundakmu sejenak

diatas taburan melati karangan

malam ini kau tak sendiri

aku hantarkan kau menuju mimpi

masih dengan kata-kata andalanku

untuk kau ucap bersama candu


kau bertangis:

Hujat aku seperti kembang

yang tak pernah tumbuh

laknatlah kutang betina ini

dari kehidupan suci

kebetinaanku terkuras kata

tak ada harap, pikir juga rasa


racau gelisah marah kehidupan

bagai tertusuk ratusan duri mawar

menghendaki satu kelopak merahnya

lalu kataku:

lantunkan iramamu

tarianku masih belum kenal syair

dan tampaklah baja melunak

disamping kembang meniti kuncup

beriringan derai rintik

bening mengilaukan sinar raga


tangan gaib menuntun aksara

kata beralih raga

sedikit tawa berdesah

sanjung puji masa malu

menguliti tubuh legammu

sabdamu padaku:

titip gaun suciku ya sayang

nanti kan ada yang datang memilikinya


malam masih memucatkan dirinya

takut bertatap mata bulan

meski rintik masih menari

kesuraman mendung angkat bicara:

hentikan. hentikan.

tak sanggup aku melepas deraian ini

hempaskan tiga kelopak mawarmu

biarkan bulan lanjuti jahitan gaun suci itu


gelegar malam membelah kepala bintang

segala teriakan telah terlepas

mengusik angin yang tak acuh

engkau malam bertampak wajah

desahkanlah untukku

utus lantunan lembut suara lonceng

tang.. tang.. tang..

heiy, kau pandir

semua tlah berakhir

beri ruang aku berkemas

bertukar pakaian asalku


dan lagi-lagi monyet ini

termangu sembari garuk-garuk

menatap angkuh nominal masa

aku catat legenda ini


(palembang, 16 mei 2009)


Kamis, Mei 14, 2009

NYA KALAHKAN AKU



Pabila sebuah usaha pertemanan tanpa disengaja telah menjadi petaka satu hubungan romantisme. Praha kamis dini hari sangat tepat untuk paksa semua kembali seperti sediakala: Individualis, picik, asumsi.


Dan. Hari ini dimulai pada kata berhenti. Walau berhenti tak menghentikan segala bentuk usaha membangun hubungan. Apalagi membunuh realitas kehidupan pribadi serta kepublikan. Mungkin hanya akan mengungkapkan lagi kata gagal yang pernah terlewat.


Lagi-lagi kebersamaan kata dan suara yang terus dijadikan perkara asumsi negatif. Padahal, untuk mengetahui seberapa jujur seseorang akan lebih efektif melalui bahasa tutur. Sebuah hubungan akan terus terjalin dengan damai ketika pelakonnya sendiri merasa memiliki satu selera, satu penyepakatan. Pada akhirnya layak untuk dinikmati dan dijalani. Bukan dengan saran, pun bukan pula dengan paksaan.


Sebagaiamana telah dibicarakan. Membaca. Mengukur. Adalah pedoman yang paling tepat untuk merangkai jalinan pertemanan ini secara baik. Karna segala bentuk usaha Menyikapi berawal dari dua kata itu. Tujuannya tidak lebih, hanya menemukan pola-pola baru dalam menata kehidupan lebih baik sesuai dengan apa yang diinginkan pribadi pelakon, juga publik yang berperan sebagai pengonsumsinya.


Baiknya runut kembali awal mula terjadinya petaka itu. Rumput ilalang takkan mampu tumbuh tanpa perantara air.


Aku masih tetap sama. Tanpa saran. Hanya mengingatkan untuk beristirahat sejenak. Sampai tiba waktunya nanti akan ada pergerakan yang berarti. Lagi.


------


NYA Kalahkan Aku


Putuskan hanya kepada NYA

Tuhan pencipta kamu

Rasakan hanya kepada NYA

Tuhan pelembut kamu

Berikan hanya kepada NYA

Tuhan pembentuk kamu

Suarakan hanya kepada NYA

Tuhan pendengar kamu

Undurkan hanya kepada NYA

Tuhan penguasa kamu

Tegaskan hanya kepada NYA

Tuhan penyayang kamu

Nyatakan hanya kepada NYA

Tuhan pengasih kamu


Aku masih bertuhan kepada NYA

Dialah NYA

Moral, Rasa, serta Keindahan

Dan NYA mengalahkan Aku


(Palembang, 14 Mei 2009)

Sabtu, Mei 09, 2009

CINTA KU MENANTI



CINTA KU MENANTI
:untukmu


saat ini tak ada cinta
laut pulau menebas kita
jarak seolah bertutur sopan:
Kau manusia ciptaan

dalam diam ku termangu
adinda haturkan angin rasa
selimuti hangat mimpi indah
lindungi rasa terserpih ini

mari tebar kata sama
mari tebar kata kita
tulang-tulangku linu sebut satu nama
kau gadis di samping selat
akan ragu tak terhantar

kapal telah berlabuh

sauh telah terkayuh
aku tertinggal lagi
akankah aku sampai padanya
walau mati berhitung angka

(palembang, 09 Mei 2009)

Senin, April 20, 2009

KURUNG KURAWAL


KURUNG KURAWAL


ringkas
sedikit kata dari tiap masa
kering bersama
buka tutup kandang bobrok
pintu besi karatan
yang nyaris patah
bukan lagi perkara sangkar
kali ini
nyali perjudian tak ada
lagi

(palembang, 20 april 2009)

KALAH



KALAH


malam tuntun aku ke dunia semu
melintasi dingin gelap ruangmu
kau bicarakan kerlip bintang
meringkas kisah bulan sabit sipit
tutur kata bahasa maya
selalu cecar mentari pagi
busuk,semua beraroma mayat
seperti katamu

aku coba membaca
berpikir merenungi
tanpa sadar telah melesat
berada dalam keraguan hitam
kau campakkan kemurnian ibu
berlari menghujat kelaki-lakian bapak
menolak kasih kakanda

diam.
aku hanya diam
terus menyimak diksi baru
mencatat singkat
di buku kumal bersampul merah

"KALAH"
tergores sudah kata itu
walau tak tersampai
anggapku kau akan mengerti
asa ego serta ingin

laiknya ilalang hijau tertabur
apakah mampu hidup tanpa perantara?

(palembang, 20 april 2009)

Sabtu, April 04, 2009

KEPADA


KEPADA

kepada hari yang telah berlalu
kepada kerja yang terselesaikan
kepada mata yang semakin lelah
kepada raga yang terasa renta
kepada rumah yang setia menyapa
kepada bunda yang hilang tawa
kepada bapak yang penuh berharap
kepada sahabat yang kian meratap
kepada bulan yang belum sempurna
kepada malam yang gelap gulita
kepada bintang yang mulai lelah
kepada kasur yang hampir terlupa
kepada janji yang sempat terucap
kepada harta yang bukan untuk-nya
kepada tuhan yang mencipta hamba
kepada tugas yang melambai esok pagi
kepada dunia yang terus mengabur rasa
kepada tetangga yang selalu berkata
apa aku mampu selesaikan semua?

(24 januari 2009)

MERENUNG MUNGKIN


Konon, merenung mampu membantu kita untuk berpikir jernih. Kalimat tersebut sangat sering diperdengarkan beberapa orang yang pernah menyatakan dirinya hidup didalam ke-sufi-an. Kesemuanya ditujukan supaya tidak ada lagi manusia yang membuka aib dirinya sendiri kepada orang lain.

Hakikat kehidupan manusia yang selalu mengatasnamakan “sosial” bagaiamana? Mungkin inilah saatnya setiap manusia kembali ke kodrat kelahirannya. Hidup sendiri. Walau untuk sementara waktu.

Hanya saja ketika tahap perenungan itu telah merubah segalanya menjadi ribuan keluh kesah, apa mungkin bisa menghasilkan pikiran-pikran jernih tersebut.Memang sebagian besar kaum pemeras keringat disekitar kita seringkali terlalu serius melakukannya. Mereka rela menjalani ritual tersebut sembari menumpahkan kegelisahan yang dialami. Itu demi siapa? Pasti. Tidak lain hanya demi memperpanjang kehidupan engkong-engkong pembayar tetesan keringat jatuh.

Dan mereka termimpikan akan kemulukan janji-janji lagi. Walhasil harapan pun dihadirkan melalui Kata-kata dengan alasan pemuas nafsu anak istri. Tidak lebih. Terlalu banyak hal yang harus sangat disayangkan untuk pengorbanan itu. Salah satu yang paling utama mungkin untuk memenuhi hasratnya menutupi kemaluan sendiri pun tak sanggup terpikirkannya.

Tak ada ide yang berkembang. Tak ada Kreatifitas yang ditampakkan. Bertindak bukan atas kemauan sendiri. Karna kebebasan terkungkung diantara tumpukan sesumbar harapan-harapan yang mungkin hanya sesebatas khayalan. Untuk mencapainya? Hanya sopir dan tuhan yang tahu.

Coba perhatikan lagi belakangan ini. Upaya untuk saling pukau memukau kembali menjadi bagian dari kehidupan berdemokrasi. Cari mencari dukungan melalui kata indah. Bahasa yang rapi. Tapi mendapatkannya, tetap harus berkeringat pula. Rusak sudah dimakan takdir. Berkarya seni pun. Tak ada.

Sekilas lintas dalam sebuah sajak pernah sempat ditegaskan: kita menyandang tugas/karna tugas adalah tugas/bukan demi sorga atau neraka/tapi demi kehidupan seorang manusia.

Tak bisa dibantah lagi. Tujuan mencapai kehidupan kekal. Layak versi religi selalu diutamakan di atas segalanya. Namun, dendang indah penghantar lelap di waktu kanak-kanak sering kali melenakan kita. Dijanjikan dengan dihadirkannya tanah-tanah berkolam susu kelak. Yang semakin hari semakin mendewasa masuk ke dalam otak. Merekam indah. Dan mutlak tertanam kokoh disana.

Masih ingat yang sering dikatakan bunda: Patuhi kata-kata bapakmu!

Berkerak sudah. Karna Bapak tak mampu di patuhi lagi. Maka sebagian teman berserta aku pun mendeklarasikan satu sajak baru: Berbuat baik kepada orangtua bukan menuruti segala keinginanya.

Bertentangankah semuanya itu?

Selami lagi. Selama akar pohon mu masih bercabang.

Jumat, Maret 20, 2009

SAMBUTAN PAGI HARI



SAMBUTAN PAGI HARI


bermula lagi di pagi hari
perasaan gamang tak tertata
melayang lepas bersama embun basah
sementara harapan-harapan pembebasan
masih malu tampakkan batang hidungnya

dari sini aku berusaha belum terjaga
dari mimipi-mimpi kehidupan khayal
dari buaian-buaian kenikmatan semu
dari iming-iming kecintaan palsu
dari penantian-penantian yang tak usai

dipaksa aku berdiri di persimpangan
bersama rasa gundah yang terus membusuk
di ruang sempit dinding-dinding redup
pertautan malam dan siang

pancaran mentari pagi kali ini tetap sama
membekukan otak masa mudaku lagi
selalu mengiringi lantunan irama tua
yang tak bosan-bosan mengerubuti

aku terbawa ke masa hilang
menatap tetesan air mata bunga
hijau, kuning, coklat
muda, tua bahkan setengah nyawa

dibuat layaknya kere-kere mata setan
yang melirik ke tempat pembuangan raga
mengincar kepala, dengkul, juga tempurungnya

disini, aku masih berperang dengan pagi
mencoba melindas segala resah dunia
menawar tawar bala bantuan
membuka buka wacana tawa
meski harus terbantahkan lagi oleh pagi
kerna anggapmu pandanganku marabahaya

aku masih terkurung kandang pagi
kepercayaan membunuhku
kompromi memenggalku
solusi memerangkapku
juga alasan masih menjebakku

pagi.
oh pagi.
mungkinkah aku tak sanggup
menyambutmu kembali esok hari
setelah kau biarkan malam menyelimuti lelapku
bagai kepompong mati yang terus
tebarkan pesona kupu-kupu pagi.

(palembang, 20 maret 2009)