Bukan Kristen atau Yahudi atau Muslim, bukan Hindu, Budha, sufi, atau zen. Bukan agama atau sistem budaya apa pun. Bukan dari Timur atau Barat, bukan keluar dari samudera atau timbul dari darat, bukan alami atau akhirat, bukan dari unsur-unsur sama sekali. Aku bukan wujud, bukan entitas di dunia ini atau akhirat, bukan dari Adam atau Hawa atau cerita asal-usul mana pun. Tempatku adalah Tanpa-Tempat, jejak dari yang Tanpa-Jejak. Bukan raga maupun jiwa.

Kamis, Januari 31, 2008

KEPUTUSAN HIDUP


Beberapa hari kemarin saya mendapatkan sedikit jeweran yang cukup berarti mengenai persoalan hidup. Pagi itu di dalam angkot berisikan dua orang ibu-ibu yang membawa banyak sayur-sayuran dan tiga orang laki-laki; sopir, saya dan satu orang lagi yang lumayan menjadi perhatian saya. Laki-laki yang duduk di sebelah sang sopir itu kelihatan lelah sekali waktu itu, tampak dari raut wajah dan mimik-mimiknya menegaskan kalau ia adalah pekerja kasar, kuli mungkin tepatnya.

Setelah melewati pasar Palmerah, terjadi dialog diantara ibu-ibu itu mengenai persoalan hidup yang cukup menarik kalau diperhatikan lagi. Ya... mereka membicarakan kematian sang jenderal besar. Cukup banyak yang dibicarakan ibu-ibu itu sehingga membuatnya lupa kalau ia masih berada didalam mikrolet, layaknya pengamat politik dan ahli strategi di bidang peperangan mereka terus menyanjung-nyanjung sang jenderal mengenang jasa-jasa juga hasil karya yang dibuat jenderal itu sebelum ia mati.

"ngomong apaan sih, orang udah mati juga, masih diomongi terus kayak gak ada kerjaan lain aja. Dia kan enak, masih idup aja di puja pas mati pun masih di hormati. Emang... hebat bener tu orang"

Tanpa disadari tiba-tiba muncul suara yang tidak meng-enak itu di telinga saya dan ibu-ibu tadi. Ternyata sang bapak itu akhirnya ikut nimbrung juga dalam pembicaraan.
Dengan cepat dan cekatan salah seorang dari ibu itu pun menjawabnya. "Loh... dia itu punya jasa besar buat pembangunan indonesia". Kemudian suasana menjadi hening.

Lalu sang lelaki itu melanjutkan omongannya.
"emang ibu tau, berapa banyak korbannya selama dia hidup, saya salah satunya bu...."
"bapak saya mati taun 65 bu, kemudian ibu saya bunuh diri karena tak tahan di tinggal bapak saya, di tahun berapa saya lupa dua kakak saya pun mati ikut perang di mana itu saya juga tidak tahu, kalau gak salah mereka ikut pasukan garuda apa" ucapnya sambil menoleh dengan mata melotot kearah ibu-ibu yang membawa sayuran itu.
"pinggir bang..." lanjutnya, kemudian ia turun sambil berlalu di daerah rawa belong dengan membawa rasa kecewa bercampur kelelahannya.
Ibu-ibu yang sedari tadi ngoceh tak tahu juntrungannya pun diam hingga satu persatu pun turun setelah sampai di tujuannya.

Dari kisah singkat itu saya hanya menarik sedikit benang merahnya saja, bahwa tidak semua orang di indonesia ini mendapatkan kenikmatan dari hasil sang jenderal, ternyata ada juga yang merasa dilecehkan olehnya, seperti sang lelaki tadi.
Mungkin saya tidak terlalu dilecehkan oleh sang jenderal, tapi saya sangat prihatin sekali atas kondisi sang lelaki tadi. Bagaimana tidak dengan nada keras ia membantah orang-orang dengan bangga menyanjung sang jenderal. Sudah sangat jelas dan bisa dipastikan kalau dia sangat membenci jenderal besar itu.

Ternyata benar, kalau ada istilah 'kekuatan besar itu juga akan melahirkan tanggung jawab yang besar', yang jadi pertanyaan saya. Apakah pilihan saya sudah tepat saat ini? saya disekolahkan orang tua saya sampai selesai diploma di bidang ekonomi, dengan harapan kalau nantinya saya bisa bekerja seperti orang-orang lain, duduk dikantoran, berpakaian rapi, dan wangi. Tapi... jalan hidup yang saya pilih berbeda dengan apa yang diingini oleh orang tua saya. Bekerja sebagai tenaga artistik di dunia media lagi, yang jelas-jelas kalau harapan orang tua saya tadi tak akan bisa tercapai. Apalagi berpenampilan necis dan wangi, ah... itu bukan tipe saya.

Kembali kepada kisah singkat tadi, setiap perbuatan jenderal itu menghasilkan dua argumen yang mana di satu pihak memuja atas tindakannya, namun di lain pihak menentang dan mencercanya.
Sudah dua hari ini saya berpikir keras, mengenai keputusan yang saya ambil hingga saya datang ke ibukota. Sebagian besar teman banyak mendukung atas usaha saya mencari kenyamanan ini, tapi saya hampir melupakan sisi yang lainnya. Apakah ada yang tidak sepakat akan keputusan ini, terutama orang tua saya? padahal saya sudah meminta restunya....
Apakah aku mengecewakan keduanya? Apakah aku berontak dari keduanya? Apakah aku anak yang durhaka terhadap keduanya? karena aku tidak bisa menjadi seperti yang mereka harapkan...... Terus terang aku rindu belaian keduanya, aku rindu bersenda gurau dengan keduanya. SALAHkAH AKU PAK..... AKU MASIH ANAKMU kAN MAK.....
==================================================================
SAJAK IBU
Wiji Thukul

Ibu pernah mengusirku minggat dari rumah
tetapi menangis ketika aku susah
Ibu tak bisa memejamkan mata
bila adikku tak bisa tidur karena lapar
Ibu akan marah besar
bila kami merebut jatah makan
yang bukan hak kami
Ibuku memberi pelajaran keadilan
dengan kasih sayang
ketabahan Ibuku
mengubah rasa sayur murah
jadi sedap

Ibu menangis ketika aku mendapat susah
Ibu menangis ketika aku bahagia
Ibu menangis ketika adikku mencuri sepeda
Ibu menangis ketika adikku keluar penjara

Ibu adalah hati yang rela menerima
selalu disakiti oleh anak-anaknya
penuh maaf dan ampun
kasih sayang Ibu
adalah kilau sinar kegaiban tuhan
membangkitkan haru insan

Dengan kebajikan
Ibu mengenalkan aku kepada tuhan

Tidak ada komentar: