Bukan Kristen atau Yahudi atau Muslim, bukan Hindu, Budha, sufi, atau zen. Bukan agama atau sistem budaya apa pun. Bukan dari Timur atau Barat, bukan keluar dari samudera atau timbul dari darat, bukan alami atau akhirat, bukan dari unsur-unsur sama sekali. Aku bukan wujud, bukan entitas di dunia ini atau akhirat, bukan dari Adam atau Hawa atau cerita asal-usul mana pun. Tempatku adalah Tanpa-Tempat, jejak dari yang Tanpa-Jejak. Bukan raga maupun jiwa.

Minggu, Maret 09, 2008

PERBEDAAN


Hidup di antara sengatan menyengat aroma sisa-sisa pembuangan dari dapur tuan Baron modern, tak membuat orang-orang yang dijadikan objek pencari dana monetary rahwana-rahwana berdasi itu bosan, tapi mereka tetap akan menikmati hidangan yang diberikan sang pencipta kepadanya, karung-karung bekas dijadikannya sebagai pelindung kepala anak-anak bangsa ditambah kardus-kardus mie disisi kanan-kiri depan-belakang dijadikannya sebagai pelindung dari cemeti panas terik matahari dan hantaman hujan gledek disebabkan alam yang kian gringsang, yang tak tahu kepada siapa alam memberi pelajaran itu.

Jelas kenikmatan yang mereka rasakan sangat berbeda dengan kenikmatan yang kita rasakan, kenikmatan itu tak pernah kita mengerti walau terkadang muka memelas penuh penghambaannya membuat miris pilu kita menatapnya. Tapi itu bukan keputusasaan mereka, coba lihat senda gurau disertai gelak tawa menyeruakkan kepuasan saat mereka berebut lemparan kotoran-kotoran dari dalam keledai modern berkaki bulat buatan saudara tua bangsa ini.

Mereka hidup dari mengais sisa-sisa buangan si tuan polan, tak pernah sekalipun mengeluarkan tuntutan berlembar-lembar hvs berisi baris-baris kata dengan mengatasnamakan perut mereka. Tapi mengapa, malah mereka dijadikan musuh bebuyutan hingga tak segan-segan sering kali kenyamanan hidup mereka terus diganggu sebagai bentuk usaha pemuas kenikmatan si leher berdasi, padahal mereka hanya meminta sisa-sisa yang dibuang, bukan burger dan ayam goreng paman sam.

Pernah suatu ketika mereka membuat para rahwana menjadi berang, bukan karena mereka mencuri sepatu hitam mengkilap dari atas rak. Persoalannya sepele, hanya karena nafsu syahwat para rahwana tiba-tiba sedang meningkat hingga matanya perih dan pedas melihat mereka mengais rejeki di sekitaran pembuangan berbau busuk. Dan akibatnya, mereka harus tereliminasi dari kenikmatan hidupnya selama ini dan harus bergelimpangan di bawah-bawah bangunan penyangga rel impor. Naas benar nasib mereka, untuk mencari kenyamanan hidup pun mereka harus terganggu.

Penguasa bersetelan rapi itu tak pernah menginjakkan kakinya lagi. Dulu sebelum ia bisa berseragam, pernah sempat bermain-main bersama mereka. Tapi sekarang, mereka hanya dijadikan asset berharga bagi penguasa agar setelan jasnya tak copot dengan segera. Mengelu-elukan usaha perbaikan gizi, malah satu keluarga di Makassar tewas mengenaskan karena marasmus.

Ah.... terlalu lelah aku membahas semua, mungkin keadaan inilah yang memaksa kita harus tetap mengakui bahwa "Inilah Indonesia ku", dari berbagai ketimpangan yang terjadi inilah bisa menimbulkan terjalinnya hubungan yang harmonis antara si kaya dan si papa. Mari kita rapatkan barisan bergabung dalam satu kesatuan untuk tetap bisa terjaga dari kehidupan maya bentukan penguasa. Ayo jangan ragu teriakanlah "Aku lah orang Indonesia itu...!!".

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

MALU

material seperti apa
yang bisa menyatakannya
berwujud tapi tak berbentuk
buku seperti apa
yang bisa mengungkapkannya
nyata tapi tak teraba

katanya ia ada di hati
itukah sebab tangannya menadah
katanya pula ia ada di akal
pantas saja kepalanya mengangguk

orang gila di jalan tak punya itu
makanya ia catwalk tanpa busana
orang gila di istana juga tak punya itu
tapi kan ia berbusana rapi, berdasi pula

aneh memang
padahal itu adalah budaya bangsa
(jakarta, 09 maret 2008)

Tidak ada komentar: