Bukan Kristen atau Yahudi atau Muslim, bukan Hindu, Budha, sufi, atau zen. Bukan agama atau sistem budaya apa pun. Bukan dari Timur atau Barat, bukan keluar dari samudera atau timbul dari darat, bukan alami atau akhirat, bukan dari unsur-unsur sama sekali. Aku bukan wujud, bukan entitas di dunia ini atau akhirat, bukan dari Adam atau Hawa atau cerita asal-usul mana pun. Tempatku adalah Tanpa-Tempat, jejak dari yang Tanpa-Jejak. Bukan raga maupun jiwa.

Sabtu, April 04, 2009

MERENUNG MUNGKIN


Konon, merenung mampu membantu kita untuk berpikir jernih. Kalimat tersebut sangat sering diperdengarkan beberapa orang yang pernah menyatakan dirinya hidup didalam ke-sufi-an. Kesemuanya ditujukan supaya tidak ada lagi manusia yang membuka aib dirinya sendiri kepada orang lain.

Hakikat kehidupan manusia yang selalu mengatasnamakan “sosial” bagaiamana? Mungkin inilah saatnya setiap manusia kembali ke kodrat kelahirannya. Hidup sendiri. Walau untuk sementara waktu.

Hanya saja ketika tahap perenungan itu telah merubah segalanya menjadi ribuan keluh kesah, apa mungkin bisa menghasilkan pikiran-pikran jernih tersebut.Memang sebagian besar kaum pemeras keringat disekitar kita seringkali terlalu serius melakukannya. Mereka rela menjalani ritual tersebut sembari menumpahkan kegelisahan yang dialami. Itu demi siapa? Pasti. Tidak lain hanya demi memperpanjang kehidupan engkong-engkong pembayar tetesan keringat jatuh.

Dan mereka termimpikan akan kemulukan janji-janji lagi. Walhasil harapan pun dihadirkan melalui Kata-kata dengan alasan pemuas nafsu anak istri. Tidak lebih. Terlalu banyak hal yang harus sangat disayangkan untuk pengorbanan itu. Salah satu yang paling utama mungkin untuk memenuhi hasratnya menutupi kemaluan sendiri pun tak sanggup terpikirkannya.

Tak ada ide yang berkembang. Tak ada Kreatifitas yang ditampakkan. Bertindak bukan atas kemauan sendiri. Karna kebebasan terkungkung diantara tumpukan sesumbar harapan-harapan yang mungkin hanya sesebatas khayalan. Untuk mencapainya? Hanya sopir dan tuhan yang tahu.

Coba perhatikan lagi belakangan ini. Upaya untuk saling pukau memukau kembali menjadi bagian dari kehidupan berdemokrasi. Cari mencari dukungan melalui kata indah. Bahasa yang rapi. Tapi mendapatkannya, tetap harus berkeringat pula. Rusak sudah dimakan takdir. Berkarya seni pun. Tak ada.

Sekilas lintas dalam sebuah sajak pernah sempat ditegaskan: kita menyandang tugas/karna tugas adalah tugas/bukan demi sorga atau neraka/tapi demi kehidupan seorang manusia.

Tak bisa dibantah lagi. Tujuan mencapai kehidupan kekal. Layak versi religi selalu diutamakan di atas segalanya. Namun, dendang indah penghantar lelap di waktu kanak-kanak sering kali melenakan kita. Dijanjikan dengan dihadirkannya tanah-tanah berkolam susu kelak. Yang semakin hari semakin mendewasa masuk ke dalam otak. Merekam indah. Dan mutlak tertanam kokoh disana.

Masih ingat yang sering dikatakan bunda: Patuhi kata-kata bapakmu!

Berkerak sudah. Karna Bapak tak mampu di patuhi lagi. Maka sebagian teman berserta aku pun mendeklarasikan satu sajak baru: Berbuat baik kepada orangtua bukan menuruti segala keinginanya.

Bertentangankah semuanya itu?

Selami lagi. Selama akar pohon mu masih bercabang.

Tidak ada komentar: