Bukan Kristen atau Yahudi atau Muslim, bukan Hindu, Budha, sufi, atau zen. Bukan agama atau sistem budaya apa pun. Bukan dari Timur atau Barat, bukan keluar dari samudera atau timbul dari darat, bukan alami atau akhirat, bukan dari unsur-unsur sama sekali. Aku bukan wujud, bukan entitas di dunia ini atau akhirat, bukan dari Adam atau Hawa atau cerita asal-usul mana pun. Tempatku adalah Tanpa-Tempat, jejak dari yang Tanpa-Jejak. Bukan raga maupun jiwa.

Sabtu, Mei 16, 2009

AKU CATAT LEGENDA INI


AKU CATAT LEGENDA INI


aku catat legenda ini

saat malam tampak mendung

layak cipratan air yang suci,

lalu bulan datang merunduk

menangis serta meracau

heiy, kau pandir

aku nanti kau!


aku catat legenda ini

saat bintang terlelap

ditemani hitam putih

yang masuk antrian

seperti segerombol anak ayam

terus menebar kelucuan

karna halus bulu tipisnya,

heiy, kau pandir

kau minta bagianmu!


puncak mendung yang suram

memulakan rintiknya ke tanah

puncak nanti yang kuat

bak besi baja kemilauan

menusuk hulu dengan tepat

yang tak akan terleyotkan


iblis, setan

malaikat, dewa

bahkan tuhan

pun ikut terjun temani kesuraman

mukanya kecut temui kita

wahai, pandir

rebahkan pundakmu sejenak

diatas taburan melati karangan

malam ini kau tak sendiri

aku hantarkan kau menuju mimpi

masih dengan kata-kata andalanku

untuk kau ucap bersama candu


kau bertangis:

Hujat aku seperti kembang

yang tak pernah tumbuh

laknatlah kutang betina ini

dari kehidupan suci

kebetinaanku terkuras kata

tak ada harap, pikir juga rasa


racau gelisah marah kehidupan

bagai tertusuk ratusan duri mawar

menghendaki satu kelopak merahnya

lalu kataku:

lantunkan iramamu

tarianku masih belum kenal syair

dan tampaklah baja melunak

disamping kembang meniti kuncup

beriringan derai rintik

bening mengilaukan sinar raga


tangan gaib menuntun aksara

kata beralih raga

sedikit tawa berdesah

sanjung puji masa malu

menguliti tubuh legammu

sabdamu padaku:

titip gaun suciku ya sayang

nanti kan ada yang datang memilikinya


malam masih memucatkan dirinya

takut bertatap mata bulan

meski rintik masih menari

kesuraman mendung angkat bicara:

hentikan. hentikan.

tak sanggup aku melepas deraian ini

hempaskan tiga kelopak mawarmu

biarkan bulan lanjuti jahitan gaun suci itu


gelegar malam membelah kepala bintang

segala teriakan telah terlepas

mengusik angin yang tak acuh

engkau malam bertampak wajah

desahkanlah untukku

utus lantunan lembut suara lonceng

tang.. tang.. tang..

heiy, kau pandir

semua tlah berakhir

beri ruang aku berkemas

bertukar pakaian asalku


dan lagi-lagi monyet ini

termangu sembari garuk-garuk

menatap angkuh nominal masa

aku catat legenda ini


(palembang, 16 mei 2009)


Kamis, Mei 14, 2009

NYA KALAHKAN AKU



Pabila sebuah usaha pertemanan tanpa disengaja telah menjadi petaka satu hubungan romantisme. Praha kamis dini hari sangat tepat untuk paksa semua kembali seperti sediakala: Individualis, picik, asumsi.


Dan. Hari ini dimulai pada kata berhenti. Walau berhenti tak menghentikan segala bentuk usaha membangun hubungan. Apalagi membunuh realitas kehidupan pribadi serta kepublikan. Mungkin hanya akan mengungkapkan lagi kata gagal yang pernah terlewat.


Lagi-lagi kebersamaan kata dan suara yang terus dijadikan perkara asumsi negatif. Padahal, untuk mengetahui seberapa jujur seseorang akan lebih efektif melalui bahasa tutur. Sebuah hubungan akan terus terjalin dengan damai ketika pelakonnya sendiri merasa memiliki satu selera, satu penyepakatan. Pada akhirnya layak untuk dinikmati dan dijalani. Bukan dengan saran, pun bukan pula dengan paksaan.


Sebagaiamana telah dibicarakan. Membaca. Mengukur. Adalah pedoman yang paling tepat untuk merangkai jalinan pertemanan ini secara baik. Karna segala bentuk usaha Menyikapi berawal dari dua kata itu. Tujuannya tidak lebih, hanya menemukan pola-pola baru dalam menata kehidupan lebih baik sesuai dengan apa yang diinginkan pribadi pelakon, juga publik yang berperan sebagai pengonsumsinya.


Baiknya runut kembali awal mula terjadinya petaka itu. Rumput ilalang takkan mampu tumbuh tanpa perantara air.


Aku masih tetap sama. Tanpa saran. Hanya mengingatkan untuk beristirahat sejenak. Sampai tiba waktunya nanti akan ada pergerakan yang berarti. Lagi.


------


NYA Kalahkan Aku


Putuskan hanya kepada NYA

Tuhan pencipta kamu

Rasakan hanya kepada NYA

Tuhan pelembut kamu

Berikan hanya kepada NYA

Tuhan pembentuk kamu

Suarakan hanya kepada NYA

Tuhan pendengar kamu

Undurkan hanya kepada NYA

Tuhan penguasa kamu

Tegaskan hanya kepada NYA

Tuhan penyayang kamu

Nyatakan hanya kepada NYA

Tuhan pengasih kamu


Aku masih bertuhan kepada NYA

Dialah NYA

Moral, Rasa, serta Keindahan

Dan NYA mengalahkan Aku


(Palembang, 14 Mei 2009)

Sabtu, Mei 09, 2009

CINTA KU MENANTI



CINTA KU MENANTI
:untukmu


saat ini tak ada cinta
laut pulau menebas kita
jarak seolah bertutur sopan:
Kau manusia ciptaan

dalam diam ku termangu
adinda haturkan angin rasa
selimuti hangat mimpi indah
lindungi rasa terserpih ini

mari tebar kata sama
mari tebar kata kita
tulang-tulangku linu sebut satu nama
kau gadis di samping selat
akan ragu tak terhantar

kapal telah berlabuh

sauh telah terkayuh
aku tertinggal lagi
akankah aku sampai padanya
walau mati berhitung angka

(palembang, 09 Mei 2009)