Senin, Juni 28, 2010
MERENUNG MUNGKIN (BETHARAKALA)
Bahasa sang dalang begitu anggun dan menyilaukan. Mulanya aku tak peduli. Tapi ia terus mengajak duduk mendengar dan menyaksikan sandiwara ini. "Ah... mempermainkan kehidupan," gumamku. Meskipun menarik. Tapi ini tidak benar. Terkadang bijak, terkadang mencibir, terkadang pula sesungukan.
Tak lama. Biusan Betharakala merungsingkan aku. Menyimak. Iba. Dan kau tau? Dengan sangat sadar kali ini aku bukanlah penonton lagi. Aku ambil bagian di tengah pergulatan para pelakon yang sarat pengalaman.
Bungkus ke empat batang pertama. Dji Sam Soe Fatsal 5. Harusnya ini waktu kita bahagia. Tertawa. Berseri. Menuai benih yang telah kita semai. Kita bersepakat membeli satu bidang tanah. Memang tidak lebar. Hanya sekepalan tangan. Aku cabuti ilalang gering yang tumbuh. Aku tawarkan perban pembalut luka. Karna aku tidak mengerti bercocok tanam. Kita saling jual kesabaran waktu itu.
Betharakala menuntun kita. Meski aku tak pandai menebar benih. Tapi aku mampu menjaganya. Setiap waktu. Aku sirami, aku pupuki. Karna ini mengasyikan.
Masih bungkus ke empat batang pertama. Dji Sam Soe Fatsal 5. Rokokku tak lagi berbara. Berbaur dengan abu dan puntung di sebuah piring mungil. Hmm... Kepulan asap tipis mengusik mata ini. Perih. "Ada yang tersambar sepertinya," pikirku. Tapi. Aku tampik pikir itu. Aku sangat yakin dan percaya pada puntung ini. Karna ia setia bersamaku. Seperti aku bersedia serahkan paru-paru untuknya.
Kali ini gas pembuat api semakin menipis. Aku paksa ia membakar putung ini. duapuluhtiga jam tiga menit duaribusepuluh detik. Ternyata putungku terus menyala sedari tadi. Ia tersulut sisa puntung yang dipatahkan. Heran? Ya pastinya. Mengapa kau tak menawarkan asap pekat kepadaku?
Berkutat pada batang pertama. Di bungkus ke empat ini. Dji Sam Soe Fatsal 5. Kebenaran telah terkuak. Kalau semua sia-sia. Biar aku serahkan semua bungkus terakhir ini. Meski aku membutuhkannya. Tapi sudahlah. Selama baramu tetap menyala. Aku selalu bahagia. Sebab inilah tujuanku: Membahagiakanmu dengan cara apapun.
(jakarta, 28 Juni 2010)
Selasa, Juni 22, 2010
TOLAK
lagi-lagi berjalan pincang
cas cis cus pembenaran sediakala
kungkungan ego rasionalitas
perlahan membunuh tiap sela jemari
kali ini bukan perkara rasa
yang ada hanya luapan akal lama
tak mungkin sama dimasa beda
sebab kesempatan silih berganti mengerubuti
celah!
yang dicari hanya itu
tampik moralitas apalagi norma
hukum yang berlaku hanya hukum isi kepala
tak pernah ada yang mengakui
jikalau ia adalah kerbau
tak tau mengapa semua terlontar
meski kerbau jelma manusia taat
logis dan pasti selalu landasan
tetapi nyata rasa dan naluri jadi tindakan
bertolak akan kehadiran tuhan
sebab hidupnya tak butuh siapa-siapa
(jakarta, 14 maret 2010)
MUSIM GUGUR DI TENGAH PARA GADIS
tujuh gadis penuh luka
berdiri layu di perempatan jalan panjang
satu persatu senyum cibir menyoroti
apakah bumi terlena akan sedihmu?
tujuh gadis penuh luka
dimukanya tersadar atas derita yang menantangnya
hujan panah cacian terus menukik deras
lalu, mungkinkah tubuh ini tetap bertahan?
tujuh gadis penuh luka
sempoyongan jatuh dipadang ilalang gersang
jarang-jarang tak bersentuh kumbang jantan
sampaikah mata menatap tegar?
tujuh gadis penuh luka
tertatih-tatih menuju sendang
gusar dirimu terlena isi kepala
padahal kau tau hati kelam berbicara
dan, akankah kau terbawa menuju selatan?
tujuh gadis penuh luka
saling bopong di bawah rerindang
hikayat pohon besar silapkan bunga rampai
buaian dongeng terus mengisi khayalanmu
apakah kau tau?
musim gugur segera mengendus segalanya
(jakarta, 19 mei 2010)
BETINAKU
wahai kau betinaku
kulumuri kau dengan madu kasihku
setiap detik penuh makna
kata sama kata kita
bukankah selayaknya terus mengema?
kau kumandangkan kata kita
di seantera jagat tak bersudut ini
semua bulat tak berujung
tapi kini kau bosan tuk tersenyum
karna hatimu berwarna pekat
wahai kau betinaku
kusentuh kau persis diliang persenggamaan
kau menggelinjang disertai kekeh senang
namun semua hanya topang kenikmatan semata
tak bercorak seperti sarung yang kau kenakan
wahai kau betinaku
lihat dengar dan resapi
langit tak selamnya membiru
sesekali ia hitam pekat, terkadang merona merah
sedang rasaku bagai gumpalan awan
yang sesekali menyegarkan bumi yang kau pijaki
wahai kau betinaku
perahu telah terkayuh seberangi selat beku
sauh pun menghantarkan aku ke muka mu
kau resah kau bimbang kau marah
lalu kau cemooh
karna aromaku tak mampu merangsangmu
(tanjung barat, 16 maret 2010)
KADO
kuhadiahkan kau bingkisan manis kepadamu
berbungkus kusam terikat erat pita ungu
kado kasih sayang, kado keindahan
tergeletak ia di keranjang depan pintumu
tak ada sentuhan tak ada sambutan
selayaknya tanpa beban ucap terima kasih
kuhadiahkan bingkisan manis kepadamu
tak ada pamrih didalamnya
pun tak tertera kartu ucapan
karna ini kado penghiantan yang termegah
(jakarta, 23 maret 2010)
Kamis, Juni 17, 2010
MUNGKINKAH
mungkinkah luka yang teramat dalam ini akan terobati
mungkinkah kecewa yang teramat parah ini akan terbatasi
mungkinkah keputusasaan teramat lama ini akan teratasi
mungkinkah langkah yang teramat jauh ini akan terhenti
mungkinkah negeri yang teramat ngeri ini akan terganti
mungkinkah tangis yang teramat keras ini akan terakui
mungkinkah rumah yang teramat reot ini akan berdiri
mungkinkah hati yang teramat sempit ini akan terpatri
mungkinkah semua ini?
(Jakarta, 17 Mei 2010)
AKAL DAN RASA
Pergulatan rasa semakin menipu
otak dan hati terus berseteru
kau hadir di saat hampa
dimana malam kehilangan mahkotanya
aku panggul cintaku mengelilingi semesta
angin kendaraanku cahaya jalanku
menuju keagungan tuhan yang esa
tanda kasih tersebar sejagat raya
aku bersimpuh diatas otak dan hatiku
hanya kau maha penguasa akal dan rasa
dan semua hanyalah ciptaan
(Jakarta, 07 Mei 2010)
JAWAB
JAWAB
Wahai penguasa
Bantahan demi bantahan terlontar sudah
Ringkih badan ini menahan linu
Kau hidup di bumi pertiwi kami
Wahai penguasa
Aku gugah kau melalui kata
Ini bumi kami ini negeri kami
Bukankah kau tau akan itu?
Wahai penguasa
Dimana tapak kaki ibu kami
Kau gusur tanpa cela
Ini negeri tlah lama dianiaya
Ini negeri tlah lama dihina
Wahai penguasa
Ini kami hadir dihadapanmu
Berikan jawaban sekarang
Atau kita akan berperang!
(Jakarta, 24 April 2010)
PADAMU NEGERI
Jumat, Juni 11, 2010
ANTARA BUMI DAN AKU
ANTARA BUMI DAN AKU
membrengus bumi yang semakin hangus
tanah pecah kering kerontang
dan tubuh lunglai berjalan diatasnya
dari kejauhan siulan geram tak merdu
ya sang gagak tampil di siang hari
kenakan jirah lelapnya tanpa kilap
pekat karat menempel tanpa sekat
membrengus bumi yang tak cantik
hijau rerumputan kian menguning
terjuntai kuning hilang kepala
disekitarnya kerumunan kambing ceking
cekikikan mengunyah penuh berkah
dan penggembala buta santai nyelonjor
karna kaki bau adalah hadiah terindah dari tuhan
membrengus bumi yang tak bulat
dedaunan segar dikerubuti lalat
hingga anjing kurap kerap mencaci
mengapa ia tak makan sayur
meski sang anjing tetap dirantai
bukan pengaruh baginya berimaji
liur menetes bagai ledeng di komplek cukong
membrengus bumi yang batuk dahak
disiram hujan yang hilang akal
kau tau hujan kini talah bercerai dari awan?
kau tau apa alasannya?
konon awan tak berjeniskelamin
ya kini hujan dapat pacar dari jenisnya
sungai goblok yang mengalir bingung
terkadang deras terkadang pula tenang
yang pasti sungai berikrar demi bersetubuh
membrengus bumi yang kian girang
penuh perkara sepele namun genting
meski demikian bumi adalah ciptaan terbaik tuhan
melebihi malaikat, dewa bahkan manusia
setiap dua kali sehari ia onani sembari
menonton persetubuhan matahari dan bulan
membrengus bumi yang gelandangan
tak pernah mau menjawab dimana rumahnya?
(jakarta, 11 Juni 2010)
Kamis, Juni 03, 2010
JELANG
detik deras berlalu
aku bertanya apa mau Mu
para remaja mendewakan dewasa
yang muda idamkan majelis tua
bergumam cepat lidah dibalik bibir
khayal ku lepas perbudakan rasa
harap mimpi serta cita terus mendampingi
bagai Khodam jaga tiap jiwa manusia
waktu menjelang senja
tebar bintang sebelum terang
kata per kata sedikit menggema
pekik hati ini tak sentuh raga bertapa
sekarang nanti menanti menjadi tawar
aku mulai tercekik
mengingat rindu yang terus menghimpit
dentang bantul pengingat waktu berbunyi
siang membentang tak ada batasan
dan aku coba menghilang
(jakarta, 03 Juni 2010)