
aku catat legenda ini
saat malam tampak mendung
layak cipratan air yang suci,
lalu bulan datang merunduk
menangis serta meracau
heiy, kau pandir
aku nanti kau!
aku catat legenda ini
saat bintang terlelap
ditemani hitam putih
yang masuk antrian
seperti segerombol anak ayam
terus menebar kelucuan
karna halus bulu tipisnya,
heiy, kau pandir
kau minta bagianmu!
puncak mendung yang suram
memulakan rintiknya ke tanah
puncak nanti yang kuat
bak besi baja kemilauan
menusuk hulu dengan tepat
yang tak akan terleyotkan
malaikat, dewa
bahkan tuhan
pun ikut terjun temani kesuraman
mukanya kecut temui kita
wahai, pandir
rebahkan pundakmu sejenak
diatas taburan melati karangan
malam ini kau tak sendiri
aku hantarkan kau menuju mimpi
masih dengan kata-kata andalanku
untuk kau ucap bersama candu
Hujat aku seperti kembang
yang tak pernah tumbuh
laknatlah kutang betina ini
dari kehidupan suci
kebetinaanku terkuras kata
tak ada harap, pikir juga rasa
bagai tertusuk ratusan duri mawar
menghendaki satu kelopak merahnya
lalu kataku:
lantunkan iramamu
tarianku masih belum kenal syair
dan tampaklah baja melunak
disamping kembang meniti kuncup
beriringan derai rintik
bening mengilaukan sinar raga
kata beralih raga
sedikit tawa berdesah
sanjung puji masa malu
menguliti tubuh legammu
sabdamu padaku:
titip gaun suciku ya sayang
nanti kan ada yang datang memilikinya
takut bertatap mata bulan
meski rintik masih menari
kesuraman mendung angkat bicara:
hentikan. hentikan.
tak sanggup aku melepas deraian ini
hempaskan tiga kelopak mawarmu
biarkan bulan lanjuti jahitan gaun suci itu
segala teriakan telah terlepas
mengusik angin yang tak acuh
engkau malam bertampak wajah
desahkanlah untukku
utus lantunan lembut suara lonceng
tang.. tang.. tang..
heiy, kau pandir
semua tlah berakhir
beri ruang aku berkemas
bertukar pakaian asalku
dan lagi-lagi monyet ini
termangu sembari garuk-garuk
menatap angkuh nominal masa
aku catat legenda ini
(