Bukan Kristen atau Yahudi atau Muslim, bukan Hindu, Budha, sufi, atau zen. Bukan agama atau sistem budaya apa pun. Bukan dari Timur atau Barat, bukan keluar dari samudera atau timbul dari darat, bukan alami atau akhirat, bukan dari unsur-unsur sama sekali. Aku bukan wujud, bukan entitas di dunia ini atau akhirat, bukan dari Adam atau Hawa atau cerita asal-usul mana pun. Tempatku adalah Tanpa-Tempat, jejak dari yang Tanpa-Jejak. Bukan raga maupun jiwa.

Senin, Juni 28, 2010

MERENUNG MUNGKIN (BETHARAKALA)

Bungkus ke empat di hari ini. Dji Sam Soe Fatsal 5. Sepertinya kehidupan mempertontonkan babak goro-goro. Panggung yang ditertawakan. Rupa yang penuh banyolan. Gelak riang tuntunan kehendak dalang. "Ini pementasan ku," tutur sang dalang. "Ku masukkan kau ke dalam pertunjukkan ini dan ku ikat erat kau disini, karna sebentar lagi peperangan dimulai" lanjutnya.

Bahasa sang dalang begitu anggun dan menyilaukan. Mulanya aku tak peduli. Tapi ia terus mengajak duduk mendengar dan menyaksikan sandiwara ini. "Ah... mempermainkan kehidupan," gumamku. Meskipun menarik. Tapi ini tidak benar. Terkadang bijak, terkadang mencibir, terkadang pula sesungukan.

Tak lama. Biusan Betharakala merungsingkan aku. Menyimak. Iba. Dan kau tau? Dengan sangat sadar kali ini aku bukanlah penonton lagi. Aku ambil bagian di tengah pergulatan para pelakon yang sarat pengalaman.

Bungkus ke empat batang pertama. Dji Sam Soe Fatsal 5. Harusnya ini waktu kita bahagia. Tertawa. Berseri. Menuai benih yang telah kita semai. Kita bersepakat membeli satu bidang tanah. Memang tidak lebar. Hanya sekepalan tangan. Aku cabuti ilalang gering yang tumbuh. Aku tawarkan perban pembalut luka. Karna aku tidak mengerti bercocok tanam. Kita saling jual kesabaran waktu itu.

Betharakala menuntun kita. Meski aku tak pandai menebar benih. Tapi aku mampu menjaganya. Setiap waktu. Aku sirami, aku pupuki. Karna ini mengasyikan.

Masih bungkus ke empat batang pertama. Dji Sam Soe Fatsal 5. Rokokku tak lagi berbara. Berbaur dengan abu dan puntung di sebuah piring mungil. Hmm... Kepulan asap tipis mengusik mata ini. Perih. "Ada yang tersambar sepertinya," pikirku. Tapi. Aku tampik pikir itu. Aku sangat yakin dan percaya pada puntung ini. Karna ia setia bersamaku. Seperti aku bersedia serahkan paru-paru untuknya.

Kali ini gas pembuat api semakin menipis. Aku paksa ia membakar putung ini. duapuluhtiga jam tiga menit duaribusepuluh detik. Ternyata putungku terus menyala sedari tadi. Ia tersulut sisa puntung yang dipatahkan. Heran? Ya pastinya. Mengapa kau tak menawarkan asap pekat kepadaku?

Berkutat pada batang pertama. Di bungkus ke empat ini. Dji Sam Soe Fatsal 5. Kebenaran telah terkuak. Kalau semua sia-sia. Biar aku serahkan semua bungkus terakhir ini. Meski aku membutuhkannya. Tapi sudahlah. Selama baramu tetap menyala. Aku selalu bahagia. Sebab inilah tujuanku: Membahagiakanmu dengan cara apapun.

(jakarta, 28 Juni 2010)

Selasa, Juni 22, 2010

TOLAK

TOLAK

lagi-lagi berjalan pincang
cas cis cus pembenaran sediakala
kungkungan ego rasionalitas
perlahan membunuh tiap sela jemari

kali ini bukan perkara rasa
yang ada hanya luapan akal lama
tak mungkin sama dimasa beda
sebab kesempatan silih berganti mengerubuti

celah!
yang dicari hanya itu
tampik moralitas apalagi norma
hukum yang berlaku hanya hukum isi kepala

tak pernah ada yang mengakui
jikalau ia adalah kerbau
tak tau mengapa semua terlontar
meski kerbau jelma manusia taat

logis dan pasti selalu landasan
tetapi nyata rasa dan naluri jadi tindakan
bertolak akan kehadiran tuhan
sebab hidupnya tak butuh siapa-siapa

(jakarta, 14 maret 2010)

MUSIM GUGUR DI TENGAH PARA GADIS

MUSIM GUGUR DI TENGAH PARA GADIS

tujuh gadis penuh luka
berdiri layu di perempatan jalan panjang
satu persatu senyum cibir menyoroti
apakah bumi terlena akan sedihmu?

tujuh gadis penuh luka
dimukanya tersadar atas derita yang menantangnya
hujan panah cacian terus menukik deras
lalu, mungkinkah tubuh ini tetap bertahan?

tujuh gadis penuh luka
sempoyongan jatuh dipadang ilalang gersang
jarang-jarang tak bersentuh kumbang jantan
sampaikah mata menatap tegar?

tujuh gadis penuh luka
tertatih-tatih menuju sendang
gusar dirimu terlena isi kepala
padahal kau tau hati kelam berbicara
dan, akankah kau terbawa menuju selatan?

tujuh gadis penuh luka
saling bopong di bawah rerindang
hikayat pohon besar silapkan bunga rampai
buaian dongeng terus mengisi khayalanmu
apakah kau tau?
musim gugur segera mengendus segalanya

(jakarta, 19 mei 2010)

BETINAKU

BETINAKU

wahai kau betinaku
kulumuri kau dengan madu kasihku
setiap detik penuh makna
kata sama kata kita
bukankah selayaknya terus mengema?
kau kumandangkan kata kita
di seantera jagat tak bersudut ini
semua bulat tak berujung
tapi kini kau bosan tuk tersenyum
karna hatimu berwarna pekat

wahai kau betinaku
kusentuh kau persis diliang persenggamaan
kau menggelinjang disertai kekeh senang
namun semua hanya topang kenikmatan semata
tak bercorak seperti sarung yang kau kenakan

wahai kau betinaku
lihat dengar dan resapi
langit tak selamnya membiru
sesekali ia hitam pekat, terkadang merona merah
sedang rasaku bagai gumpalan awan
yang sesekali menyegarkan bumi yang kau pijaki

wahai kau betinaku
perahu telah terkayuh seberangi selat beku
sauh pun menghantarkan aku ke muka mu
kau resah kau bimbang kau marah
lalu kau cemooh
karna aromaku tak mampu merangsangmu

(tanjung barat, 16 maret 2010)

KADO

KADO

kuhadiahkan kau bingkisan manis kepadamu
berbungkus kusam terikat erat pita ungu
kado kasih sayang, kado keindahan
tergeletak ia di keranjang depan pintumu
tak ada sentuhan tak ada sambutan
selayaknya tanpa beban ucap terima kasih
kuhadiahkan bingkisan manis kepadamu
tak ada pamrih didalamnya
pun tak tertera kartu ucapan
karna ini kado penghiantan yang termegah

(jakarta, 23 maret 2010)

Kamis, Juni 17, 2010

MUNGKINKAH


MUNGKINKAH

mungkinkah luka yang teramat dalam ini akan terobati

mungkinkah kecewa yang teramat parah ini akan terbatasi

mungkinkah keputusasaan teramat lama ini akan teratasi

mungkinkah langkah yang teramat jauh ini akan terhenti

mungkinkah negeri yang teramat ngeri ini akan terganti

mungkinkah tangis yang teramat keras ini akan terakui

mungkinkah rumah yang teramat reot ini akan berdiri

mungkinkah hati yang teramat sempit ini akan terpatri

mungkinkah semua ini?


(Jakarta, 17 Mei 2010)


AKAL DAN RASA


AKAL DAN RASA

Pergulatan rasa semakin menipu

otak dan hati terus berseteru

kau hadir di saat hampa

dimana malam kehilangan mahkotanya

aku panggul cintaku mengelilingi semesta

angin kendaraanku cahaya jalanku

menuju keagungan tuhan yang esa

tanda kasih tersebar sejagat raya

aku bersimpuh diatas otak dan hatiku

hanya kau maha penguasa akal dan rasa

dan semua hanyalah ciptaan


(Jakarta, 07 Mei 2010)

JAWAB




JAWAB


Wahai penguasa
Bantahan demi bantahan terlontar sudah

Ringkih badan ini menahan linu

Kau hidup di bumi pertiwi kami


Wahai penguasa

Aku gugah kau melalui kata

Ini bumi kami ini negeri kami

Bukankah kau tau akan itu?


Wahai penguasa

Dimana tapak kaki ibu kami

Kau gusur tanpa cela

Ini negeri tlah lama dianiaya
Ini negeri tlah lama dihina

Wahai penguasa

Ini kami hadir dihadapanmu
Berikan jawaban sekarang
Atau kita akan berperang!


(Jakarta, 24 April 2010)

PADAMU NEGERI



Padamu Negeri


Bergerak cepat anak bangsa

Negeri ini telah lama meringkuk

Jeruji-jeruji masa semakin berkarat

Kurungannya tak ada arti saat ini

Rumah tinggal yang
Berlumuran darah saudara kita
Sekarang
Dendangkanlah nyanyian tua

Padamu negeri kami berbakti


(Jakarta, 09 April 2010)

Jumat, Juni 11, 2010

ANTARA BUMI DAN AKU



ANTARA BUMI DAN AKU


membrengus bumi yang semakin hangus

tanah pecah kering kerontang

dan tubuh lunglai berjalan diatasnya

dari kejauhan siulan geram tak merdu

ya sang gagak tampil di siang hari

kenakan jirah lelapnya tanpa kilap

pekat karat menempel tanpa sekat


membrengus bumi yang tak cantik

hijau rerumputan kian menguning

terjuntai kuning hilang kepala

disekitarnya kerumunan kambing ceking

cekikikan mengunyah penuh berkah

dan penggembala buta santai nyelonjor

karna kaki bau adalah hadiah terindah dari tuhan


membrengus bumi yang tak bulat

dedaunan segar dikerubuti lalat

hingga anjing kurap kerap mencaci

mengapa ia tak makan sayur

meski sang anjing tetap dirantai

bukan pengaruh baginya berimaji

liur menetes bagai ledeng di komplek cukong


membrengus bumi yang batuk dahak

disiram hujan yang hilang akal

kau tau hujan kini talah bercerai dari awan?

kau tau apa alasannya?

konon awan tak berjeniskelamin

ya kini hujan dapat pacar dari jenisnya

sungai goblok yang mengalir bingung

terkadang deras terkadang pula tenang

yang pasti sungai berikrar demi bersetubuh


membrengus bumi yang kian girang

penuh perkara sepele namun genting

meski demikian bumi adalah ciptaan terbaik tuhan

melebihi malaikat, dewa bahkan manusia

setiap dua kali sehari ia onani sembari

menonton persetubuhan matahari dan bulan


membrengus bumi yang gelandangan

tak pernah mau menjawab dimana rumahnya?


(jakarta, 11 Juni 2010)

Kamis, Juni 03, 2010

JELANG


JELANG

detik deras berlalu
aku bertanya apa mau Mu
para remaja mendewakan dewasa
yang muda idamkan majelis tua
bergumam cepat lidah dibalik bibir
khayal ku lepas perbudakan rasa
harap mimpi serta cita terus mendampingi
bagai Khodam jaga tiap jiwa manusia

waktu menjelang senja
tebar bintang sebelum terang
kata per kata sedikit menggema
pekik hati ini tak sentuh raga bertapa
sekarang nanti menanti menjadi tawar
aku mulai tercekik
mengingat rindu yang terus menghimpit

dentang bantul pengingat waktu berbunyi
siang membentang tak ada batasan
dan aku coba menghilang

(jakarta, 03 Juni 2010)